KEBUDAYAAN DAERAH SIDOARJO
Nama: REZZA AGUS
SUBANDI
NPM: 16112226
Kelas: 1 KA 19
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Bab I
I.1
Latarbelakang
I.2
Keunggulan dan Fungsi Produksi
I.3
Sasaran Pasar / Pengguna
Bab II
II.1
Mengenal Sidoarjo
II.2 Kebudayaan
Sidoarjo
II.3 Mengenal Tradisional Sidoarjo
1 Bahasa
2
Tradisi
3
Kesenian
4
Cagar Budaya
II.4 Pakaian Adat Sidoarjo
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Bab 1
Pendahuluan
I.1
LATAR BELAKANG
Makalah ini membahas tentang Kebudayaan
dari daerah Sidoarjo, kota yang terletak di selatan Surabaya ini akan kita bahas
tentang seni kebudayaan , pakaian adat, rumah adat, seni music dan tari adat
Sidoarjo.
I.2
KEUNGGULAN DAN FUNGSI PRODUKSI
Keunggullan adalah biaya pembuatan nya
lebih murah dan proses pembuatannya relative singkat, dan mengenal kebudayan
dari Daerah Sidoarjo.
I.3
SASARAN PASAR / PENGGUNA
Ditujukan untuk Mahasiswa/i Dan untuk semua kalangan .
Bab II
II.1 Mengenal Sidoarjo
Kota
Sidoarjo terletak di pulau Jawa Indonesia, bagian dari Provinsi Jawa Timur.
Sidoarjo memiliki keanekaragaman seni dan budaya menjadi bagian kekayaan
kebudayaan Indonesia
Profil
Kabupaten Sidoarjo
Profil
Nama
Resmi
: Kabupaten Sidoarjo
Ibukota
: Sidoarjo
Provinsi
: Jawa Timur
Wilayah
administrasi : Kecamatan: 18, Desa: 325,
Kelurahan: 28
Letak geografis
Terletak antara 112,5 BT
– 112,9 BT dan 7,3 LS – 7,5 LS dengan batas – batas :
Utara
: Kota Surabaya dan Kab. Gresik
Selatan
: Kab.
Pasuruan
Barat
: Kab. Mojokerto
Timur
: Selat Madura
Ketinggian dari permukaan
laut :
a. 0–3m
: Daerah bagian timur merupakan daerah tambak dan pantai (29,99%) hampir
keseluruhan berair asin.
keseluruhan berair asin.
b. 0–10m :
Daerah bagian tengah sekitar jalan protokol (40,81 %) berair tawar
c. 0–25m :
Daerah bagian barat (29,20 %)
Luas
wilayah
Kabupaten Sidoarjo
memiliki luas 63.438,534 ha atau 634,39 km2 (Luas
Wilayah menurut Kecamatan, Tahun 2004), dengan potensi luas
wilayah :
a. Lahan pertanian
: 28.763 Ha
b. Lahan perkebunan
tebu : 8.164 Ha
c. Lahan
pertambakan : 15.729 Ha
d. Selebihnya tanah
pekarangan, pemukiman, industri, perumahan dan lain- lain
Jumlah
penduduk
Berdasarkan
Sensus Penduduk tahun 2000, penduduk yang menduduki wilayah kabupaten Sidoarjo
terdapat 1.563.015 jiwa.
Sejarah
Kabupaten Sidoarjo
Pada
tahun 1851 Sidoarjo masih bernama Sidokare yang merupakan bagian dari daerah
Kabupaten Surabaya. Saat itu Sidokare dipimpin oleh seorang Patih yang bernama
R.Ng.Djojohardjo dan dibantu oleh seorang wedono bernama Bagus Ranuwirjo. Baru
pada tanggal 31 Januari 1859 berdasarkan keputusan Hindia Belanda No. 9 /1859
Staatsblat No. 6 Kabupaten Surabaya dipecah menjadi 2 , yaitu Kabupaten
Surabaya dan Kabupaten Sidokare dipimpin oleh seorang Bupati.
Bupati
pertama Sidokare adalah RT.NOTOPURO ( RTP. TJOKRONEGORO I ) yang merupakan
putra Bupati Surabaya dan bertempat tinggal di Pandean ( Sidoarjo Plasa
Sekarang ). Pada masa pemerintahan beliau inilah didirikan masjid di Pekauman (
Masjid ABROR ).
Berdasarkan
keputusan pemerintah Hindia Belanda No. 10 / 1859 tanggal 28 Mei 1859
Staatsblat No. 32 nama Kabupaten Sidokare diganti dengan Kabupaten Sidoarjo.
Tahun 1862 Bupati Tjokronegoro I memindahkan rumah Kabupaten dari kampung
Pandean ke kampung Pucang ( Wates ). Disini beliau mendirikan Masjid
Jami’ ( Masjid AGUNG ) dan disebelah barat masjid dijadikan Pesarean Pendem (
Asri ). Ketika beliau wafat tahun 1863, jasad beliau disemayamkan dipesarean
tersebut.
Pada
15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu, didaerah-daerah mulai dibentuk
badan atau perkumpulan yang bersifat Nasional. Pada saat itu yang berkuasa
didaerah Delta Berantas adalah Kaigun (tentara laut Jepang). Badan - badan atau
perkumpulan yang bersifat Nasional mulai bibentuk dengan nama BKR dan PTKR.
Pada permulaan Maret 1946 Belanda kembali ke daerah kita. Pada waktu menduduki
Gedangan (pusat pemerintahan di kabupaten sidoarjo saat itu), Pemerintah
memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Sidoarjo ke Porong.
Tanggal
24 Desember 1946 Belnda menyerang Kota Sidoarjo. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo
dipindahkan lagi yaitu kedaerah Jombang . Sesudah Negara Jawa Timur dibentuk
daerah Delta Berantas ini masuk daerah Negara Boneka tersebut. Mulai saat itu
Daerah Sidoarjo berada dibawah pemerintahan Recomba yang berjalan hingga tahun
1949. Pada waktu itu Bupati Sidoarjo adalah:
1. K. Ng. Soebakti Poespanoto;
2. R. Suharto.
1. K. Ng. Soebakti Poespanoto;
2. R. Suharto.
Tanggal
27 Desember 1949 Belanda menyerahkan kembali Pemerintahan kepada Pemerintah
Republik Indonesia. Pada waktu itu juga daerah Delta Brantas menjadi daerah
Republik Indonesia.
Sesudah
penyerahan kembali kedaulatan kepada Pemerintah RI berdasarkan Undang-Undang
Nomor 22/1948. R Suryadi Kertosoeprojo diangkat menjadi Bupati/Kepala Daerah di
Kabupaten Sidoarjo.
Bab III
III.1 Mengenal Tradisional Sidoarjo
1. Bahasa
Bahasa yang berkembang di
daerah Sidoarjo dikenal dengan sebutan Bahasa Arek. Bahasa Arek merupakan
bahasa keseharian warga Kota Surabaya dan kabupaten pecahan Kota Surabaya,
yaitu Sidoarjo, Mojokerto, Gresik.
2. Tradisi
a. Lelang Bandeng
Setiap tahun di
Kabupaten Sidoarjo tepatnya dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
diadakan kegiatan lelang bandeng tradisional bertempat di alun-alun Sidoarjo.
Lelang bandeng tradisional diadakan dengan tujuan selain
menjunjung tinggi peringatan Maulid nabi Muhammad SAW juga
mempunyai maksud menjadikan cambuk untuk meningkatkan produksi ikan
bandeng dengan pengembangan motivasi dan promosi agar petani tambak lebih
meningkatkan kesejahteraannya.
Lelang bandeng adalah merupakan usaha dengan tujuan
mulia, karena hasil bersih uang seluruhnya digunakan untuk
kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan melalui yayasan amal bhakti Muslim
Sidoarjo.
Tradisi lelang bandeng selalu dibarengi dengan
kegiatan-kegiatan lainnya yaitu pasar murah, berbagai macam hiburan tanpa
dipungut biaya, antara lain Band, Orkes Melayu, Ludruk, Samroh dan lomba
MTQ tingkat kabupaten.
Bandeng yang dilelang dinamakan bandeng
“KAWAKAN“ yang dipelihara khusus antara 5 – 10 tahun dan mencapai berat 7
Kg sampai 10 Kg per ekor.
b. Nyadran
Di Jawa, pada bulan Ruwah ( kalender Jawa ) ada tradisi
yang dinamakan Ruwatan. Bentuk –bentuk Ruwatan ini dapat berupa bersih Desa
,Ruwah desa atau lainnya.
Di Sidoarjo tepatnya di Desa Balongdowo Kecamatan
Candi ada tradisi masyarakat yang dilakukan setiap bulan Ruwah pada saat
bulan purnama.
Tradisi tersebut dinamakan Nyadran, Nyadran ini merupakan
adat bagi para nelayan kupang desa Balongdowo sebagai ungkapan rasa syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bentuk kegiatan Nyadran berupa pesta peragaan cara
mengambil kupang di tengah laut selat Madura.
Nyadran di Sidoarjo mempunyai ciri khas tersendiri.
Kegiatan Nyadran dilakukan oleh masyarakat Balongdowo yang mata pencaharian
sebagai nelayan kupang, pada siang harinya sangat disibukkan dengan kegiatan
persiapan pesta upacara meski puncak acaranya pada tengah malam.
Kegiatan ini dilakukan pada dini hari sekitar pukul 1
pagi. Orang- orang berkumpul untuk melakukan keliling. Perjalanan dimulai
dari Balongdowo Kec, Candi menempuh jarak 12 Km. Menuju dusun Kepetingan Ds.
Sawohan Kec. Buduran. Perjalanan ini melewati sungai desa Balongdowo, Klurak
kali pecabean, Kedung peluk dan Kepetingan ( Sawohan ).
Ketika iring-iringan perahu sampai di muara kali Pecabean
perahu yang ditumpangi anak balita membuang seekor ayam. Konon menurut
cerita dahulu ada orang yang mengikuti acara Nyadran dengan membawa
anak kecil dan anak kecil tersebut kesurupan. Oleh karena itu untuk menghindari
hal tersebut masyarakat Balongdowo percaya bahwa dengan membuang seekor ayam
yang masih hidup ke kali Pecabean maka anak kecil yang mengikuti nyadran
akan terhindar dari kesurupan/ malapetaka.
Sekitar pukul. 04.30 WIB. Peserta iring-iringan perahu tiba
di dusun Kepetingan Ds. Sawohan . Rombongan peserta nyadran langsung menuju
makam dewi Sekardadu untuk mengadakan makan bersama. Sambil
menunggu fajar tiba, peserta nyadran tersebut berziarah, bersedekah, dan berdoa
di makam tersebut agar berkah terus mengalir. Menurut cerita rakyat Balongdowo
Dewi sekardadu adalah putri dari Raja Blambangan yang bernama Minak
Sembuyu yang pada waktu meninggalnya dikelilingi “ ikan kepiting “ itulah
sebab mengapa dusun tersebut dinamakan Kepetingan. Tetapi orang-orang sering
menyebut Dusun Ketingan.
Setelah dari makam Dewi Sekardadu, sekitar pukul
07.00WIB. Perahu-perahu itu menuju selat Madura yang berjarak sekitar 3 Km.
Sekitar pukul 10.00 WIB. iring-iringan perahu tersebut mulai meninggalkan selat
Madura. Kemudian mereka kembali ke Ds Balongdowo. Sepanjang Perjalan pulang
ternyata banyak masyarakat berjajar di tepi sungai menyambut iring-iringan
perahu tiba. Mereka minta berkat/makanan yang dibawa oleh peserta nyadran
dengan harapan agar mendapat berkah.
Ada satu proses dari pesta nyadran ini yaitu “ Melarung
tumpeng “ Proses ini dilakukan di muara /Clangap ( pertemuan antara sungai
Balongdowo, sungai Candi, dan sungai Sidoarjo ). Proses ini diadakan bila ada
pesta Nyadran atau nelayan kupang yang mempunyai nadzar /kaul.
3. Kesenian
a. Wayang
Kulit
Jenis wayang kulit yang
ada di Sidoarjo sebagian besar adalah wayang kulit gaya Jawa Timuran (gaya
Wetanan) dan sebagian kecil gaya Kulonan. Hampir semua kecamatan memiliki
dalang wayang kulit Wetanan ini, diantaranya: Tarik, Balungbendo, Krian,
Prambon, Porong, Tulangan, Sukodono, Candi, Sidoarjo, Gedangan dan Waru.
Gaya Wetanan ini dapat
dibagi lagi dalam penggolongan pecantrikan, yaitu:
a. Ki Soewoto Ghozali (alm) dari Reno Kenongo, Porong
b. Ki Soetomo (alm), dari Waru
c. Ki Suleman (alm), Karangbangkal, Gempol
a. Ki Soewoto Ghozali (alm) dari Reno Kenongo, Porong
b. Ki Soetomo (alm), dari Waru
c. Ki Suleman (alm), Karangbangkal, Gempol
Dari segi musik,
instrumennya menggunakan gamelan slendro, mirip yang digunakan dalam ludruk.
Berbeda dengan gaya Kulonan yang menggunakan gamelan slendro dan sekaligus
pelog. Namun kemudian wayang gaya Wetanan juga menggunakan gamelan pelog, terutama
untuk mengiringi adegan-adegan tertentu.
Mengikuti selera
konsumen, pergelaran wayang kulitpun akhirnya dilengkapi dengan campursari
bahkan juga musik dangdut. Malah sudah sejak lama wayang Wetanan disertai
pembuka tarian Remo segala, dimana pengunjung diminta memberikan saweran yang
dulu diselipkan ke dada.
Keberadaan wayang kulit
di Sidoarjo semakin menurun karena tidak ada kaderisasi. Hanya ada satu dalang
cilik, anak Subiyantoro yang juga dalang. Juga tidak ada lembaga formal atau
nonformal yang mengajarkan wayang gaya Wetanan secara utuh, bukan hanya
disentuh saja. Belum lagi keterbatasan naskah yang siap dipentaskan.
b. Reog Cemandi
Reog Cemandi adalah
kesenian asli Sidoarjo. Kesenian itu muncul pada tahun 1926.
Reog Cemandi berbeda
dengan Reog Ponorogo. Yang membedakan adalah tidak adanya warok, dan topengnya
tidak dihiasi dengan bulu merak seperti ciri khas reog Ponorogo. Irama musik
yang digunakan adalah angklung dan kendang kecil.
Jumlah pemain Reog
Cemandi sekitar 13 orang. Dua penari yang memakai topeng Barongan Lanang
(laki-laki) dan Barongan Wadon (perempuan), enam penabuh gendang dan empat
pemain angklung.
Saat memainkan tarian
itu, dua penari Barongan Lanang dan Barongan Wadonmengiringi penabuh gendang yang
ada di tengahnya. Enam penabuh gendang itumembentuk formasi melingkar sambil
mengikuti irama.
Dulunya, reog Cemandi
adalah pertunjukan yang dipakai masyarakat desa Cemandi, kecamatan Sedati
untuk mengusir penjajah Belanda. Waktu itu, salah satu kyai dari Pondok
Sidoresmo Surabaya, menyuruh masyarakat setempat untuk membuat topeng dari
kayu pohon randu. Topeng itu dibentuk menyerupai wajah buto cakil dengan dua taring.
Setelah itu, masyarakat setempat melakukan tari-tarian untuk mengusir penjajah yang
akan memasuki desa Cemandi.
Selain
untuk mengusir penjajah pada waktu itu, tarian tersebut juga sebagai himbuan
kepada masyarakat sekitar untuk selalu mengingat Tuhan Yang Maha Esa. Anjuran
itu tersirat dalam sair pangelingan (pengingat) yang dilantunkan
pemainnya sebelum memulai pertunjukan. “Lakune
wong urip eling gusti ning tansah ibadah ing tengah ratri,” ucap Arif
Juanda menirukan sair itu.
Kini,
pertunjukan reog Cemandi itu sudah berubah fungsi. Masyarakat sekitar biasa
mengundang kesenian Reog Cemandi itu untuk hajatan mantenan, sunatan atau acara
lainnya. Selain itu, masyarakat sekitar percaya, bahwa tarian reog Cemandi bisa
untuk menolak balak (membuang sial). “Kalau arak-arakan pasti kami yang di
depan. Karena untuk menolak balak,” tegasnya lagi.
c. Wayang Potehi
Kesenian adalah kesenian
khas China, keberadaannya melekat dengan klenteng atau rumah ibadah Tionghoa.
Di Sidoarjo ada di klenteng Tjong Hok Kiong di Jalan Hang Tuah, di kawasan
Pasar Ikan.
Di Sidoarjo, wayang
potehi hanya digelar saat perayaan hari jadi Makco Thian Siang Seng Bo di
Kelenteng Tjong Hok Kiong, Jalan Hang Tuah Sidoarjo. Acara tahunan ini juga
diisi dengan hiburan rakyat untuk warga sekitar kelenteng. Untuk memeriahkan
HUT Makco, Subur biasanya menggelar pertunjukkan wayang potehi selama satu
bulan penuh di kompleks kelenteng. Wayang potehi di Sidoarjo merupakan bagian
dari ritual umat Tridharma ketimbang hiburan biasa. Karena itu, jarang sekali
orang luar yang menikmati kesenian langka ini. Padahal, unsur hiburan dan
intrik di wayang potehi justru lebih banyak daripada wayang kulit.
d. Jaran Kepang
Kelompok seni tradisi
jaranan hampir punah di Kabupaten Sidoarjo, tak sampai hitungan jari sebelah
tangan. Sebelum 1980-an, cukup banyak grup jaranan yang menggelar atraksi
hiburan di kampung-kampung. Kelompok-kelompok seni Jaranan atau Jaran Kepang
yang selama ini ada di Sidoarjo bisa dikatakan bukan asli atau berdomisili di
Sidoarjo. Mereka berasal dari luar kota, seperti Tulungagung, yang sengaja
ngamen di Sidoarjo dalam waktu beberapa lama. Diperkirakan ada sekitar 10 grup.
Namun ada satu grup Jaran Kepang versi Sidoarjo, yang agak berbeda dengan Jaran
Kepang pada umumnya. Yakni, ketika dalam masa trance, pemainnya memanjat pohon
kelapa dengan kepala menghadap ke bawah. Grup ini hanya ada di desa
Segorobancang, kec. Tarik.
e. Tari Ujung
Di daerah lain disebut
Seni Tiban. Pertunjukan ini berupa tari dan dimaksudkan untuk meminta hujan.
Pertunjukan dua lelaki atau dua kelompok lelaki bertelanjang dada, saling
mencambuk dengan rotan secara bergantian. Dapat digolongkan seni pertunjukan
karena memang ditampilkan sebagai tontonan. Kadang dimainkan di atas panggung
namun masih ada juga yang menggunakan lapangan terbuka. Di berbagai daerah,
Ujung merupakan ritual untuk mendatangkan hujan, namun Ujung Sidoarjo memiliki
latar belakang sejarah sebagai peninggalan masa kerajaan Majapahit, dimana
penduduk disiapkan melatih kanuragan melawan musuh. Kelompok Seni Ujung
terdapat di kecamatan Tarik.
4. Cagar budaya
a. Candi Pari
Candi Pari terletak di
kecamatan Porong, Sidoarjo. Candi Pari merupakan candi peninggalan kerajaan
Majapajit. Candi Pari didirikan sekitar tahun 1293 saka (1371 masehi).
Candi ini didirikan pada masa pemerintahan Raja Hayamwuruk. Candi ini memiliki
ciri- ciri yang berbeda dari candi byang ada di Jawa Timur lainnya. Candi ini
cenderung terpengaruh dengan kesenian Champa (salah satu nama wilayah di
Vietnam) jika dilihat dari bentuknya yang agak tambun dan tampak kokoh
seperti candi-candi di Jawa Tengah.
Candi Pari berdiri diatas
bidang tanah ukuran 13,55 * 13,40 meter, dengan ketinggian 13,80 meter. Bangunan
Candi Pari didominasi oleh bata merah pada bagian badannya, sedangkan ambang
atas dan bawah pintu masuk bilik candi menggunakan batu andesit. Bagian kaki
candi memiliki ukuran 13,55 * 13,40 meter dn tinggi 1,50 meter, pada bagian ini
terdapat dua buah jalan masuk ke bilik candi dalam bentuk susunan/trap anak
tangga dengan arah utara-selatan dan selatan-utara, jalan masuk seperti
ini tidak ditemui dalam candi-candi lain dijawa timur. Pada bagian dalam bilik
candi saat ini tidak ditemukan arca sama sekali, akan tetapi dibagian tengah
dari sisi dinding timur ( diantara lubang angin ) terdapat sebuah tonjolan
sebagai sandaran dinding arca. Dulu daerah sekitar candi pernah ditemukan dua
arca Siwa Mahadewa, dua arca Agastya, tujuh arca Ganesha dan tiga arca Budha
yang semuanya telah disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Candi Pari tidak memiliki
ornamen. Pada kaki candi terdapat hiasan berbentuk panel yang polos tanpa
hiasan. Sedangkan dibagain tubuh candi terdapat pahatan semacam panel-panel
besar polos tanpa hiasan. Di dinding barat tepat diatas pintu masuk terdapat
hiasan segitiga sama sisi dengan bagian kecilnya berada di atas. Pada bagian
tengah dinding utara, timur dan selatan terdapat hiasan miniatur yang atapnya
bertingkat lima dengan puncaknya berbentuk kubus, bagian atas ambang pintu dan
pada masing-masing tingkatan atap miniatur candi terdapat hiasan teratai dan
dipuncaknya ada hiasan (angka) atau Sangkha. Candi pari yang ada saat ini
merupakan hasil pemugaran tahun 1994-1999 oleh Kanwil Depdikbud dan Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur melalui dana Proyek
Pelestarian/Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur.
b. Candi Sumur
Candi Sumur merupakan
candi yang juga masih satu lokasi dengan Candi Pari. Mungkin hanya berjarak
kurang lebih 100 meter.
Berbeda dengan Candi Pari
yang berukuran lumayan besar, Candi Sumur memiliki ukuran yang lebih kecil,
mungkin hanya separuhnya dan hanya berhasil dipugar separuhnya saja.
Semua orang yang melihat
candi ini pasti akan heran. Karena sisi yang tegak hanya separuhnya saja dan
ini akan membuat Candi Sumur rawan untuk runtuh. Tetapi sekarang dibangun kerangka
dari semen yang berfungsi sebagai penopang dan pengikat susunan badan candi
yang masih ada.
Candi Sumur ini
diperkirakan dibangun bersamaan dengan Candi Pari, dan seperti halnya Candi
Pari, Candi Sumur juga terbentuk dari susunan batu bata merah bukan dari batu
andesit yang umumnya kita jumpai pada candi-candi lain. Pada bangunan candi ini
juga tidak ditemukan ukiran atau relief-relief yang mendhias dinding atau kaki
candi. Bentuk unik hanya terlihat dari susunan anak tangga yang berada di sisi
selatan candi. Anak tangga ini cukup "curam" dan tidak memiliki
dinding tangga di bagian sisinya, sehingga perlu perhatian extra bila
pengunjung ingin menaikinya dikarenakan bata penyusun anak tangga atau tempat
berpijak kaki itu sendiri tidak tersusun rata dan rapi. Memang, meskipun Candi
Sumur tampak jelas telah mengalami renovasi, namun batu-batu penyusun candi
nampak belum diatur dengan rapi dan ditambah dengan batu-batu pengganti untuk
sisi-sisi yang hilang. Bentuk candi yang berhasil direnovasi juga belum mampu
memberikan gambaran secara lebih jelas dan pasti akan lekuk-lekuk badan dan
sudut-sudut candi.
c. Candi Dermo
Candi Dermo terletak di Dusun Dermo Desa Candi Negoro
Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo. Candi Dermo berukuran tinggi 13,5
meter, panjang 6 meter dan lebar 6 meter.
Saat ini, Candi Dermo
sedang dalam perencanaan akan di renovasi. Sebenarnya candi ini sudah pernah
direnovasi pada jaman penjajahan belanda, namun renovasi yang dilakukan
nampaknya merubah wajah candi, karena lebih bersifat mempertahankan candi dari
keruntuhan daripada upaya menyusun ulang badan candi.
Bagian dalam candi sangat
sempit. Ini karena pada masa pemerintahan Belanda dilakukan pemugaran dan
pemugaran ini menambah bagian dalam sedemikian rupa sehingga bisa
menyokong bangunan dari kemungkinan runtuh. Tetapi ada perbedaan antara batu
asli candi dengan batu hasil pemugaran Belanda. Batu bata hasil pemugaran
semasa penjajahan Belanda mempunyai ukuran yang lebih kecil dan tipis
dibandingkan batu bata asli penyusun candi.
Pada kompleks candi
Dermo, terdapat 4 buah Arca dengan 2 macam jenis, yakni Arca Manusia Bersayap
dan Arca Kolo. Namun sayangnya, sekarang salah satu dari arca-arca tersebut ada
yang sudah hancur, sehingga kini Candi Dermo hanya memiliki 3 Arca saja. Yang
disayangkan juga adalah bentuk apa yang hendak ditampilkan pada kedua patung
tersebut sudah susah untuk dikenali lagi karena arca sudah rusak.
Candi Dermo dibangun pada
Masa kerajaan Majapahit, pada wangsa Raja Hayam Wuruk. Candi bercorak hindu ini
berdiri pada tahun 1353 dibawah pimpinan Adipati Terung yang sekarang makamnya
terdapat di Utara Masjid Trowulan.
Candi ini termasuk salah
satu kompleks candi yang dibangun oleh Kerajaan Majapahit sebagai bukti akan
luasnya daerah kekuasaan yang dimiliki. Candi ini sebenarnya
merupakan Gapura atau Pintu Gerbang, orang Jawa mengatakan Gapura Ke Bangunan Suci. Arti
dari Bangunan suci sendiri adalah bangunan induk yang biasanya terletak di
sebelah timur candi. Begitupula dengan Candi Dermo, sebenarnya dahulu di
sebelah timur Candi ada bangunan induk yang ukurannya lebih besar, namun
sekarang bangunan induk tersebut sudah pupus dimakan waktu dan akhirnya roboh.
Oleh masyarakat jaman dulu, lahan puing-puing bangunan induk tersebut dijadikan
pemukiman oleh warga sekitar.
d. Candi Pamotan
Candi
Pamotan terletak di desa Pamotan kecamatan Porong. Atap candi ini sudak hilang
dan candi ini lebih menjorok ke dalam maka dari itu apabila musim hujan tiba,
candi ini kerap digenangi air.
Lebar
Candi Pamotan hanya sekitar satu meter saja. Candinya sendiri hanya berupa
tumpukan bata merah karena atap dan badan candi sudah runtuh.
Meskipun
berada di daerah kekuasaan kerajaan Majapahit, candi ini belum bisa dikatakan
sebagai situs peninggalan kerajaan Majapahiyt
e. Candi Medalem
Candi
ini sangat berbeda dengan candi- candi lainnya yang ada di Sidoarjo. Candi
Medalem hanya berupa tumpukan batu bata merah yang disusun memanjang entah
berapa meter panjangnya.
Candi yang ditemukan
tahun 1992 oleh Pak Tamaji ini diperkirakan sebagai tempat pembakaran atau
mungkin fondasi candi. Tidak ada berita jelas mengenai situs bersejarah ini.
Karena papan penunjuk sejarah tidak ada. Bahkan papan larangan untuk tidak
merusak situs sudah rusak dan berkarat.
Nasib
candi ini sangat tragis. Bahkan bata-bata
yang memanjang itu sudah tinggal sedikit karena sisanya terkubur di bawah
pohon-pohon pisang dan rumah penduduk.
Tidak ada pengunjung ke situs ini, hanya orang yang ingin
mengambil air yang dianggap ajaib dari sumur dekat candi ini saja yang mau
menghampiri situs ini.
II.4 Pakaian
Adat Sidoarjo
Kesimpulan
Dari
hasil observasi dan berbagai informasi yang diperoleh penulis maka dapat
dikembangkan hasil laporan dan dapat disimpulkan bahwa:
“Kita
harus melestarikan bahasa daerah dan budaya bangsa Indonesia.”
Daftar
Pustaka
No comments:
Post a Comment